Transkrip: DR. Rizal Ramli - MK Pengujian UU Migas (18 Juli 2012)
DR. RIZAL RAMLI
Saksi Ahli PERKARA NOMOR 36/PUU-X/2012
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001.
Mahkamah Konstitusi, Rabu, 18 Juli 2012.
Yang Mulia Bapak Ketua dan Anggota Mahkamah Konstitusi, Pak Din Syamsudin Ketua Muhammadiyah, Pak Amidhan dari MUI, dan kawan-kawan dari Muhammadiyan dan NU, dan para tim pembela.
Inisiatif untuk meminta judicial review tentang Undang-Undang Migas ini menurut saya ini suatu hal yang historis yang diminta oleh kawan-kawan organisasi sosial kemasyarakatan paling besar di Indonesia.
Saya ingin menyampaikan beberapa hal.
Yang pertama adalah proses pembuatan Undang-Undang Migas ini.
Undang-Undang Migas ini dibiayai dan disponsori oleh USAID dengan motif:
1. Agar sektor migas diliberalisasi.
2. Agar terjadi internasionalisasi harga, agar harga-harga domestik migas disesuaikan dengan harga internasional.
3. Agar asing boleh masuk sektor hilir yang sangat menguntungkan dan bahkan risikonya lebih kecil dibandingkan sektor hulu.
Pertama kali draft undang-undang ini diajukan oleh Menteri Pertambangan Kuntoro Mangunsubroto pada masa pemerintahan Habibie, ditolak oleh DPR atas saran kami karena kami pada waktu itu adalah penasihat DPR untuk keempat Fraksi, Fraksi Angkatan Bersenjata, Fraksi Golkar, dan PPP dan PDIP.
Kemudian selama pemerintahan Gus Dur.
Undang-Undang ini nyaris stak tidak ada kemajuan karena tidak mungkin dilewatkan jika Menkonya itu Pak Kwik Kian Gie dan kemudian dilanjutkan oleh saya. Begitu pemerintahan Gus Dur jatuh, undang-undang ini kemudian diajukan dengan sangat cepat oleh Pak Boediono sama Pak Purnomo kawan saya dan diproses di DPR dengan sangat cepat.
Setelah itu, Kedutaan Besar Amerika dan USAID mengirim laporan ke Washington telah berhasil menggolkan undang-undang ini yang sangat penting untuk kepentingan bisnis Amerika di sektor migas di Indonesia. Pembuatan undang-undang yang dibiayai oleh asing biasanya banyak prasyarat, dan conditionalities-nya, dan sering diiming-imingi dengan pinjaman, apa yang dikenal sebagai loan-tied laws,
undang-undang yang dikaitkan dengan pinjaman.
Dalam sejarah Indonesia, itu banyak sekali kasusnya. Saya berikan contoh, ADB menawarkan U$300.000.000,00 dengan syarat Pemerintah Indonesia membuat Undang- Undang Privatisasi
BUMN. Jadi, Undang-Undang Privatisasi BUMN ini dipesan oleh ADB dan ditukar dengan pinjaman sebesar U$300.000.000,00. Undang-Undang Privatisasi Air dipesan oleh Bank Dunia dengan memberikan pinjaman U$400.000.000,00. Jadi, air yang di dalam Undang-Undang Dasar kita dinyatakan sebagai dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat sebesar-besarnya, itu pun mau diswastanisasikan. Dan untuk itu, Pemerintah Indonesia diberikan pinjaman U$400.000.000,00, Undang-Undang Migas termasuk.
Jadi undang-undang yang dikaitkan dengan pinjaman luar negeri, penuh prasyarat, itu tidak mungkin tujuannya betul-betul untuk menyejahterakan rakyat dan negara Indonesia. Sudah pasti ada kepentingan
strategis, kepentingan bisnis di belakangnya yang ikut dompleng persyaratan daripada undang-undang tersebut.
Ini semuanya kebanyakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, banyak sekali undang-undang begini. Dan ini adalah pintu masuk dari liberalisasi dan neoliberalisasi di dalam bidang ekonomi. Jadi, kalau zaman Belanda dulu, Belanda mau berkuasa di Indonesia, itu harus pakai senjata, harus pakai pasukan.
Kalau sekarang itu tidak perlu, siapa saja boleh jadi presiden ya, siapa saja, partai apa saja boleh berkuasa. Yang penting, undang-undang dalam bidang ekonominya itu merupakan pesanan dari kepentingan asing. Dari situlah Indonesia dipaksa mengambil langkah-langkah dan undang-undang yang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 dan bertentangan dengan itikad untuk memanfaatkan semua sumber daya alam itu untuk kesejahteraan rakyat dan bangsa.
Seharusnya, pembuatan undang-undang tidak boleh dibiayai oleh asing, harus dibiayai sendiri oleh APBN,
sehingga undang-undang betul-betul mencerminkan kepentingan rakyat dan bangsa kita. Tidak mungkin asing membiayai dan memesan undang-undang tanpa melibatkan kepentingan strategis mereka.
Salah satu adalah menyangkut harga.
Menurut UU Migas harga itu harus sama dengan harga internasional. Saya mengulangi kembali karena ini penting sekali. Contoh yang sangat sederhana, pulpen ini ongkos produksinya Rp90,00. Kalau dijual di
Indonesia, harganya Rp100,00. Tetapi seandainya pulpen ini dijual di New York, harganya Rp1.000,00. Para ekonom neoliberal dan essensi UU Migas akan mengatakan, “Indonesia rugi karena kalau dijual di dalam negeri hanya Rp100,00, kalau dijual di luar negeri, di New York, ini Rp1.000,00.” Inilah di belakang dasar dari banyak pikiran supaya harga Migas di dalam negeri disamakan dengan harga internasional.
Internasionalisasi harga tersebut juga sudah terjadi di dalam bidang kesehatan, pendidikan, migas, dan
sebagainya. Nah harganya, harga internasional, tapi pendapatan rakyatnya, pendapatan Melayu, pendapatan lokal. Kebijakan seperti ini adalah, strategi jalur cepat untuk mendorong proses pemiskinan
struktural.
Kenapa? Kalau memang demikian, rakyat Indonesia berhak meminta, “Naikkan dulu dong pendapatan kami sama dengan di New York,” yaitu rata-rata U$40.000 atau Rp400.000.000,00. Kalau pendapatan rakyat sudah segitu, rakyat Indonesia saya rasa tidak keberatan, kalau harga-harga dinaikkan sama dengan di New York tidak ada masalah.
Negara-negara di Asia yang berhasil mengejar ketinggalannya dari barat, tidak langsung menyesuaikan dengan harga internasional, tapi terlebih dahulu mendorong, memacu pertumbuhan ekonomi di atas 10%, meciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, baru harga-harga disesuaikan. Jadi, ada perbedaan mendasar dengan apa yang dilakukan di Indonesia dengan di negara-negara lain yang berhasil memakmurkan rakyatnya dan mengejar ketinggalannya dari Barat. Kita ini seolah-olah satu-satunya solusi hanya menyesuaikan harga dengan harga internasional dan berhutang.
Menurut hemat kami, internasionalisasi harga tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945, terutama untuk komoditi-komoditi yang strategis, seperti migas, pendidikan, dan kesehatan. Kalau misalnya ini menyangkut mobil, elektronik, dan lain-lain, kami tidak ada masalah, serahkan kepada mekanisme pasar. Tapi kalau menyangkut kepentingan yang strategis, negara berhak menentukan dan melakukan intervensi agar harga itu tidak selalu sesuai dengan harga internasional. Apalagi apa yang disebut sebagai harga internasional itu? Selama 20 tahun terakhir, harga internasional bukanlah mencerminkan supply and demand. Saya mohon maaf, tadi ada saksi pemerintah yang mengatakan supply and demand. Tidak, itu adalah harga para spekulator financial yang mempermainkan harga-harga komoditi. Sebagian besar dari pembentukan harga itu adalah permainan para spekulator, bukan hanya hukum supply and demand. Jadi untuk Indonesia sekedar ikut-ikutan harga internasional, sebetulnya menyerahkan nasib kita kepada para spekulator internasional.
Satu yang penting, Pak Ketua. Menurut saya penting karena disinilah permainan utamanya. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan, “Bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.” Di undang-undang yang asli itu tidak ada kata-kata dimiliki oleh rakyat Indonesia dan dikuasai dan dikelola oleh negara, sehingga akibatnya, istilah dikuasai itu sering bisa dimanipulasi, bisa direkayasa, akhirnya yang berkuasa beneran ya swasta, terutama asing. Mudah-mudahan nanti setelah pemerintahan ini berakhir kita mengajukan amandemen Pasal 33, sehingga kata-katanya menjadi lengkap. “Bumi dan air dan kekayaan alam Indonesia dimiliki oleh rakyat Indonesia, dikuasai dan dikelola oleh negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia”, supaya tidak ada lagi multitafsir dan rekayasa interpretasi.
Saya ingin memberikan contoh di sini di tabel yang diajukan oleh Pembela tentang “pemaknaan Pasal 33 UUD 1945 hanya menyangkut pengaturan kebijakan, pengelolaan, pengurusan, pengawasan, dikuasai oleh negara. Tidak ada istilah dimiliki karena yang paling penting sebetulnya pemiliknya, walaupun di dalam Undang- Undang Dasar 1945 kita sendiri dikatakan manfaatnya digunakan sebesar-besarnya untuk rakyat. Artinya siapa pemiliknya itu? Ya rakyat, secara tidak langsung, kalau tidak buat apa digunakan sebesar-besarnya untuk rakyat. Jadi di dalam Pasal 33 itu sudah implisit kata dimiliki walaupun tidak
eksplisit, sebetulnya itu milik rakyat.
Pada sidang yang terakhir, mantan Dirjen Migas yang bertindak sebagai saksi ahli Pemerintah, saya tidak tahu apakah itu conflict interest karena beliau waktu itu juga terlibat dalam penyusunan Undang-Undang
Migas ini. Saksi Ahli tersebut disini mengatakan “Pemerintah tidak kasih apa-apa kok sama asing karena semua pengaturan dikelola oleh pemerintah, yang kita kasih itu cuma economic right-nya saja”. Wah, saya
dengar itu kaget. ‘Economic right” itu yang paling ada nilainya, kalau tidak ada economy right-nya tidak ada nilainya itu barang. Justru itu yang paling berharga yang diserahkan sepenuhnya kepada asing, dan menurut saya itu interpretasi yang sangat berbahaya karena harusnya itu dikuasai oleh Pemerintah
Indonesia. Contoh yang paling sederhana di sektor mineral banyak sekali dan juga berlaku di sektor Migas.
Banyak perusahaan-perusahaan tambang besar dunia, salah satunya BHP Billiton dari Australia memiliki tambang batubara di Kalimanatan Tengah yang kadar batubaranya sangat tinggi (cooking coal) untuk industri baja. Puluhan tahun konsesi mereka tidak bikin apa-apa karena dia punya bisnis di tempat yang lain lebih menarik. Tetapi aset tersebut di dalam bukunya Billiton, itu masuk di dalam contingency asset. Dengan itu mereka bisa cari uang karena tambang itu kan sudah ada valuasinya, tambang di situ sudah dieksplorasi tapi tidak dikerjakan.
Sudah ada estimate nilainya berapa, tinggal kalikan saja berapa dollar per ton. Nah itu dimasukkan ke dalam contingency asset, bisa mencari pinjaman dan kemudian hasil pinjamaan itu dipakai untuk investasi bisnis di luar Indonesia. Kasus-kasus seperti ini banyak sekali terjadi di sektor Migas. Kenapa? Karena pikiran seperti mantan Dirjen Migas kemarin, “kita tidak kasih apa-apa kok, kita kasih economy rights”. Justru yang paling berharga itu economy right-nya, bukan soal aturan macam-macam.
Kemudian ada hal-hal yang cukup penting di Pasal 3 Undang-Undang Migas, penyelenggaraan harus accountable yang diselenggarakan dengan mekanisme persaingan usaha yang wajar, dan sehat, dan transparan. Dan saya setuju dengan Pembela dan Pemohon, hal ini adalah cara dan mekanisme, padahal yang paling penting itu prinsip dan tujuan. Prinsip dan tujuannya itu ada di Pasal 33 ayat (2), “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Prinsip dan tujuannya yang paling penting, tetapi kok didalam undang-undang itu mekanismenya malah
yang lebih diutamakan. Di sinilah virus dari neoliberalisme itu masuk.
Kok cara itu kan cuma sebagian, bukan hal yang terlalu penting.
Nah, kemudian menyangkut modus kerja sama, Indonesia menganut selama ini production sharing arrangement. Sebetulnya PSA bukan satu-satunya modus, ada kerja sama operasi, ada kepemilikan langsung. Negara-negara yang berhasil di sektor migas dan cukup kuat dan besar terutama di negara-negara Arab dan Latin Amerika itu tidak memakai PSA, tetapi memakai konsep kepemilikan (ownership).
Aramco dikuasai oleh Pemerintah Saudi Arabia dalam bentuk kepemilikan saham mayoritas, ada asingnya minoritas. Nah apa manfaatnya ? Menurut saya sistem pemilikan mayoritas ini jauh lebih efektif dibandingkan PSA karena satu, cost control-nya bisa dilakukan secara internal, wong wakil dari pemerintah Saudi Arabia duduk di dalam manajemen, ikut melakukan kontrol manajemen, ikut melakukan control cost,
proses alih teknologi juga lumayan bagus, dan sebagainya. Jadi, banyak dari raksasa-raksasa atau BUMN milik negara di negara-negara berkembang yang besar itu kebanyakan memiliki (ownership) saham mayorita. Memang ada asingnya sebagai pemilik minoritas. Jadi, PSA bukan satu-satunya opsi yang paling baik yang selama ini oleh pejabat selalu dibanggakan sebagai yang paling hebat, paling dahsyat, dan sebagainya. Kenapa? Karena sangat rawan terhadap mark up, biaya-biaya, hampir semua biaya dan
saya juga dengar banyak biaya entertainment untuk menyogok pejabat Indonesia itu masuk recovery cost. Pak Hakim, itu bukan dongeng dan biaya lain-lain dibebankan kepada cost recovery. Dan yang kedua yang juga tadi Pak Hakim tunjukan produksi anjlok kok dari 1.300.000 barrel per hari menjadi hanya 850-an barrel per hari, tapi cost recovery-nya naik ya hampir dua kali dan saya mohon maaf tidak pernah ada penjelasan yang transparan dan hitung-hitungannya.
Kenapa hal itu terjadi ? Saya dengarkan dengan hati-hati, keterangan wakil pemerintah yang ada itu tabel, grafik, produksi, tapi penjelasan kenapa cost recovery naik dua kali ?, produksi anjlok, apa komponen biayanya, bagaimana hitungannya tidak pernah dijelaskan kepada rakyat Indonesia secara terbuka.
Yang ketiga adalah budaya birokratis, semua mau dikontrol, semua mau diperiksa, tapi saya mohon maaf kultur control di Indonesia dan periksa ini itu juga sebagian besar identik dengan pemerasan. Semakin banyak kontrolnya, semakin banyak diperiksanya, semakin banyak yang harus diservis pejabatnya ya, jangan diartikan kontrol oleh negara itu hebat dan dahsyat karena cara kontrolnya itu mohon maaf tidak canggih. Sederhana kok, biaya menghasilkan oil di mana (on-share vs. off share). Kedalaman berapa itu saja dipegang ya, tidak usah sampai detail. Sehingga tidak aneh pemerintah Indonesia sejak 8 tahun terakhir telah memberikan ratusan konsensi di sektor minyak bumi dan gas, tapi tingkat eksplorasi sangat rendah.
Penemuan cadangan baru nyaris tidak ada, kenapa ? Saya tanya kepada investor asing maupun pemain minyak dalam negeri, birokrasinya ruwet, ribet, itu dimuat di salah satu majalah oil and gas internasional, bahwa iklim investasi migas di Indonesia itu sangat ribet karena terlalu banyak kontrol, terlalu banyak macam-macam. Tapi tidak control terhadap cost, itu kadang-kadang banyak kontrol BP migas supaya nanti temannya bisa masuk sebagai pemasok atau apa, gitu-gitu aja tidak lebih dan tidak kurang.
Jadi, menurut hemat saya budaya birokratis dalam kaitannya dengan BP Migas menurut saya tidak
penting-penting amat. Saya mohon maaf, pada dasarnya fungsi BP migas itu bisa diambil alih oleh Dirjen Migas, oleh ESDM. Perbedaannya biaya BP migas sangat besar dibandingkan biaya Dirjen Migas karena dianggap profesional pegawainya harus biaya mahal sama kayak BPPN dulu dibikin.
Kalau boleh sejarah diulang kembali walaupun bukan saya yang bikin BPPN, saya tidak akan bentuk BPPN. BPPN gajinya, gaji internasional, stafnya kebanyakan titipan dari bank-bank yang bermasalah. Sehingga recovery rate BPPN di Indonesia itu cuma 20%, di negara lain 40%, data-data banyak yang hilang. Kalau diserahkan kepada Bank untuk melakukan restrukturisasi, cost-nya lebih murah. Saya juga percaya kalau
Dirjen Migas diberikan kewenangan lebih besar seperti halnya BP Migas bisa lebih efisiendan murah. Apa buktinya ya kan, biayanya kemahalan.
Kemarin Bp Migas baru ulang tahun, ulang tahun saja di Ritz-Carlton. Saya sedih lihatnya, tidak ada prihatinnya, padahal kantornya sudah bagus kenapa tidak ulang tahun di kantor?, kenapa mesti di Ritz-Carlton? Ini contoh, kalau kita lakukan audit terhadap biaya BP Migas itu mahal, dampak dan manfaatnya kecil, kecuali jika BP Migas berhasil menekan cost recovery, berhasil meningkatkan produksi, okelah. Jadi menurut saya tidak penting-penting amat BP Migas. Lebih bagus fungsi regulasi Migas
kita kembalikan kepada Dirjen Migas.
Kemudian ada Pasal 10 di Undang-Undang Migas, “Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan kegiatan usaha hilir.”
Pasal itu bagus supaya tidak ada monopoli vertikal. Tapi dalam praktiknya, Shell atau BP tinggal bikin PT dihilir, tetapi tetap di hulu, migas. Jadi, kalimat-kalimat di pasal itu, multiinterpretasi, sangat sumir. Dalam praktiknya, tetap terjadi integrasi vertikal. Kemudian pasal ayat (22) Migas tentang DPR. DPR hanya diberitahu, tidak dimintai persetujuannya. Yang kemudian yang juga penting pasal tentang arbitrase internasional. Di situ dikatakan kalau ada pertikaian, diserahkan kepada arbitrase internasional. Prof. Joseph Stiglitz, pemenang Nobel, melakukan studi, ternyata 99% dari hasil arbitrase internasional sangat merugikan negara berkembang dan selalu menguntungkan negara-negara maju. Oleh karena itu, pada tahun 2007, Stiglitz datang ke Jakarta, ketemu Presiden SBY, meminta agar arbitrase internasional ini dihapuskan dari rencana Undang-Undang Investasi. SBY seperti biasa, “Iya, bagus,” manggut-manggut, tapi tetap saja ada itu pasal arbitrase internasionalnya. Stiglitz ketemu saya, kecewa betul, “ternyata Presiden kamu bilang, ‘Iya, iya,’” ya kan? Kejadian terus itu berulang.
Kesimpulannya, Bapak Hakim Yang Terhormat, kami minta Undang-Undang Migas yang disponsori, dibiayai oleh USAID dengan membawa kepentingan strategis mereka bertentangan dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945, sebaiknya dibatalkan. Banyak terjadi manipulasi dari kata dikuasai negara, sehingga menjadi multitafsir, sehingga pada praktiknya menjadi swastanisasi dan asingnisasi besar-besaran. Untuk itu kami minta dengan hormat kepada Ketua dan Anggota dari Majelis Hakim untuk menyatakan Undang-Undang Migas ini bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 dan menetapkan peraturan peralihan. Memang bakal ramai, tapi tidak apa-apa kok, ramai sebentar, ya. Masih lebih mending daripada di negara lain, dinasionalisasi. Di Venezuela dan banyak Negara Latin Amerika, sector migas di nasionalisasi. Kita tata ulang lagi undang-undang Migas agar supaya betul-betul bekerja sesuai dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945.
Apa pendapat anda mengenai tulisan diatas ???